Artikel yang satu ini perlu waktu khusus untuk menyelaminya. Menerapkan dengan optimisme karena kita semua berhak untuk bahagia :)
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 11 Agustus 2010
Apa saja yang bisa membuat kita bahagia? Jawabannya pasti tak terhitung, se-tak-terhitung alasan dan kondisi kita. Cuma, secara umum, kita mungkin sulit menolak bila dikatakan bahwa faktor yang bisa membuat seseorang bahagia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga:
Pertama, personal setting atau bagaimana kita membentuk diri, dalam arti cara berpikir yang kita anut, sikap hidup yang kita pilih, nilai-nilai yang kita jadikan acuan, respon yang kita ambil, dan seterusnya.Contohpersonal setting yang sudah kita bahas di sini adalah sikap menerima (accept / “nrimo”) yang bukan pasrah menyerah. Menerima atau menolak itu sikap yang kita pilih. Tidak ada orang atau keadaan yang menyuruh kita antara harus menerima atau menolak. Menerima bisa membuat kita lebih cepat bahagia dibanding dengan menolak.
Kedua, faktor eksternal yang mendukung bagi kebutuhan kita untuk bahagia. Bentuknya bisa materi atau non-materi (nilai). Misalnya, adanya hubungan yang harmonis, uang / materi yang mencukupi kebutuhan, lingkungan kerja yang OK, dan semisalnya.
Ketiga, faktor X yang mungkin berupa akibat atau hasil dari apa yang kita usahakan dan respon yang kita terima dari kekuatan di luar kita sehingga membuat kita selamat dari hal-hal yang membuat kita tidak bahagia.
Untuk orang yang beragama, kekuatan dari luar itu diperintahkan untuk meyakininya sebagai tangan “Tuhan”, bukan kejadian yang kebetulan. Misalnya, ternyata kita sembuh dari sakit setelah berusaha berobat atau selamat dari kecelakaan,dan lain-lain.Seperti kita lihat, sepertinya hubungan antara sembuh dan berobat itu kausatif, tetapi prakteknya tidak begitu. Banyak kok orang yang sudah berobat kemana-mana, tapi belum kunjung sembuh. Karena itu, kesembuhan perlu diyakini sebagai pertolongan Tuhan dan usaha kita. Bila kita masih menemukan penjelasan lain yang bisa melengkapi paparan di sini, tentu akan lebih mantap lagi supaya perspektif kita tentang kebahagiaan semakin sederhana.
Mana yang Paling Banyak Berperan?
Nah, dari ketiga hal di atas, kira-kira mana yang paling banyak berperan? Kalau mencermati praktek hidup, yang paling banyak dan paling sering berperan tentunya adalah personal setting. Angka penelitiannya menyebut dari 60% hingga 80%, berdasarkan keadaan hidup yang normal. Kita mungkin bisa saja mengatakan bahwa faktor kebahagaiaan itu tidak dapat diangka-angka-kan. Tapi, untuk soal betapa vitalnya personal setting itu bagi kebahagiaan, ini memang banyak bukti dan penjelasannya.
Katakanlah kita sudah mendapatkan faktor eksternal yang mendukung kebahagiaan kita, misanya pekerjaan, lingkungan atau materi. Walaupun semua itu nyata adanya pada kita, tetapi jika personal setting kita kurang mendukung, apa bisa kita merasakan kebahagiaan? Jawabannya mungkin sulit. Kesulitan untuk bahagia itu mungkin akan bersifat lama. Karena itu ada ungkapan yang menyatakan bahwa kebahagiaan itu bukan tergantung pada apa yang kita miliki, melainkan pada kesyukuran kita pada apa yang sudah kita miliki.
Tidak jarang kita menemukan kondisi yang tak mendukung untuk bahagia. Jadi, mari berusaha bahagia. |
Sekarang mari kita balik simulasinya. Katakanlah kita berada dalam kondisi yang secara faktor eksternal kurang mendukung untuk bahagia. Misalnya, sedang nganggur, tidak punya uang, hubungan sedang meruncing, atau apalah contohnya yang lebih menyedihkan lagi. Jika menggunakan kemanusiawian kita, memang kita hampir dipastikan tidak bahagia dengan keadaan seperti itu, walaupun sudah berusaha menciptakan personal setting yang sebijak, sepositif, dan se-powerful mungkin.
Hanya saja, jika personal setting yang demikian itu sanggup kita jamin konsistensinya, maka rasa tidak bahagia yang kita alami itu hanya bersifat sementara. Jika konsistensi itu sanggup kita wujudkan dalam bentuk agenda perubahan yang nyata, rasa tidak bahagia akan menjadi rasa bahagia. Ini sudah hukum alam.
Di samping itu, memiliki personal setting yang mendukung kebahagiaan, entah itu namanya pura-pura atau atau ke-wisdom-an, pada saat kita menghadapi keadaan yang tidak mendukung kebahagiaan, akan membuat kita tidak sampai larut ke dalam ketidakbahagiaan yang sifatnya uncontrollable. Karena itu, kearifan leluhur kita mengajarkan perspektif tersendiri dalam melihat kemalangan, yaitu dengan menghadirkan kata “masih untung . . .. “. Meski usaha kita lagi tekor, kita disuruh berpikir masih untung sehat. Coba kalau sudah tekor plus sakit?
Personal Setting dan Kematangan Mental
Personal setting yang sangat mendukung kebahagiaan adalah berbagai pemikiran, sikap, dan tindakan yang mencerminkan atau merepresentasikan kematangan mental (mental maturity).Tentu, dalam prakteknya, istilah kematangan mental itu mengandung skala, dari yang rendah, menengah, atau atas. Untuk melihat dimana sebetulnya skala kematangan kita, ini bisa kita lihat dari ciri-ciri umumnya:
1. Punya kapasitas untuk memenuhi kebutuhan hidup, minimalnya pada batas-batas yang normal (standard), baik kebutuhan lahir dan batin, materi dan nilai, atau personal-sosial.
2. Realistis: pikiran dan keputusannya membumi, punya landasan fakta atau realita atau data. Maksudnya, sudah berkurang menggunakan hawa nafsu, tebakan, asumsi negatif atau keinginan yang utopis.
3. Tanggung jawab: tidak mengandalkan orang lain atau menyerahkan nasibnya pada keadaan, melainkan pada usahanya
4. Bersedia untuk menguji asumsi, opini, atau keyakinannya secara objekif sehingga tidak seenaknya sendiri, main benarnya sendiri, atau maunya menang sendiri
5. Keputusan dan perilakunya lebih banyak didorong oleh reason (alasan-alasan yang berbasis akal sehat), bukan didorong oleh reaction (reaksi sesaat)
6. Punya kemampuan untuk menjadi orang yang asertif dalam berkomunikasi (sopan dan kuat), tidak agresif atau pasif, bersahabat tetapi tidak lemah atau selalu ingin cari-muka
7. Menjadi lebih fleksibel dan berpikir terbuka, bukan semakin kaku dan gampang menuduh / menghakimi orang lain
8. Menjadi lebih inquisitive dan explorative (ingin tahu, ingin menambah ilmu, pengalaman, ingin meningkatkan kualitas hidup, dst), bukan sudah merasa tahu segalanya sehingga kurang ingin tahu atau tidak mau tahu.
9. Bisa mengambil tindakan berdasarkan perkembangan keadaan secara intuitif (spontan), tidak mikir terlalu lama atau langsung menolak.
10. Menikmati masa lalu, meyakini masa depan, dan menggunakan hari ini seoptimal mungkin dengan mengaktualisasi diri
Bila mencermati setiap poin di atas, rasanya tidak akan sulit untuk menemukan hubungannya dengan kebahagiaan seseorang. Hubungan di sini mungkin bersifat kausatif (sebab-akibat) atau korelatif (terkait). Jadi, kebahagiaan seseorang di dunia ini, yang berarti mengandung ketidakbahagiaan juga atau tidak ada kebahagiaan yang sejati, sangat berhubungan dengan kematangan mental seseorang. Karena itu, menurut Osho, penulish buku “Maturity”, ciri lain dari orang yang matang adalah memahami bagaimana dunia ini bekerja menurut hukum yang mengaturnya (understand how the world works).
Tidak pas untuk disebut orang matang jika anggapannya tentang dunia ini masih kurang sinkron, misalnya beranggapan bahwa di dunia ini harus ada kebahagiaan terus menerus, harus selalu keharmonisan, harus selalu terus menerus sempurna. Di dunia ini akan terus ada hal-hal yang tidak sempurna yang harus kita pahami, di satu sisi, tetapi di sisi lain perlu ada perjuangan untuk meraih kesempurnaan, yang juga perlu kita jalankan. Ini juga merupakan ciri kematangan—menerima dan memperjuangkan.
Frekuensi, Gradasi, Dan Konsistensi
Kalau membaca uraian di atas, semua itu bisa kita sebut sebagai skala atas atau standar ideal mengenai kematangan mental. Untuk menemukan skala yang menengah atau yang bawah atau yang tidak ideal banget menurut praktek hidup, kita bisa memakai 3 kata kunci, yaitu: frekuensi, gradasi, dan konsistensi.
Katakan saja misalnya ciri nomor 1, yaitu memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan hidup, minimalnya pada batas-batas yang normal (standard), baik kebutuhan lahir dan batin, materi dan nilai, atau personal-sosial. Jika kapasitas kita dalam memenuhi kebutuhan itu masih sangat jarang (frekuensi), atau lebih sering tidak-nya, entah karena kita yang menciptakan masalah atau kurang bisa mengantisipasi masalah, berarti kematangan mental kita masih perlu ditingkatkan (rendah).
Atau misalnya lagi kita sudah berusaha berpikir realistis (ciri nomor 2). Kita sudah terbiasa melatih diri untuk tidak mengedepankan hawa nafsu atau tebakan dalam bertindak. Kita sudah biasa menggunakan fakta atau data. Hanya saja, bobot atau kualitas ke-realistis-an kita itu (gradasinya) masih belum membawa akibat (hasil) yang berarti bagi kehidupan kita di berbagai wilayah penting. Ke-realilstis-an kita masih baru bisa untuk menenangkan, namun belum bisa membahagiakan karena bobotnya masih kurang bagus.
Kualitas sikap realistis itu ada yang membuat seseorang hanya selamat, tapi ada yang sudah membuat orang bisa selamat dan bisa maju. Kalau hanya bertujuan untuk cari selamat saja, berarti masih perlu kita tingkatkan. Tapi kalau sudah bisa meraih keselamatan dan kemajuan, berarti perlu kita pertahankan.
Terakhir adalah konsistensi. Kita bisa menerapkan ini misalnya pada ciri nomor 3, yaitu tanggung jawab, dalam arti tidak mengandalkan orang lain atau menyerahkan nasibnya pada keadaan, melainkan pada usahanya. Orang yang kita nilai paling bertanggung jawab sekali pun tidak akan sanggup untuk bertanggung jawab selamanya dan dalam kadar yang sempurna. Ada keadaan yang dimana dia salah dan tidak sempurna.
Yang membedakan adalah kadar konsistensi pendiriannya dan usahanya untuk terus bertanggung jawab. Jika konsistensinya berkadar tinggi, berarti skala kematangan mentalnya juga tinggi. Tapi kalau kadarnya plin-plan atau hanya ketika keadaan hidup lagi normal saja, berarti masih dibilang menengah. Yang lebih bawah lagi adalah ketika kita konsisten suka menuding faktor eksternal untuk menutupi kemalasan atau lari dari tanggung jawab.
Formula 5P
Kematangan mental bukanlah kejadian, tetapi proses perubahan, yang berarti hasil dari usaha atau akibat dari proses yang kita lakukan. Formula 5P di bawah ini bisa kita jadikan acuan untuk menjalankan proses:
P1 :Pencernaan. Cernalah pelajaran dari praktek hidup sehari-hari, mulai dari yang OK sampai ke yang tidak OK, dari pengalaman pribadi atau orang lain, atau kejadian.
P2 :Pembuktian. Gunakan pelajaran yang sudah Anda cerna itu untuk menjadi landasan berpikir, bersikap atau bertindak.
P3 :Penegasan. Jadikanlah apa yang Anda cerna dan apa yang Anda buktikan itu sebagai penegas atau label-diri sehingga lama-lama terbiasa atau menjadi sifat.
P4 :Perbaikan. Walaupun kita sudah yakin telah menganut dan melakukan hal-hal yang benar dari hasil pencernaan, tetapi bisa mengundang kesalahan kalau itu berhenti kita perbaiki. Karena itu, lakukanlah perbaikan secara terus menerus.
P5 :Prosesi. Cerna lagi setiap ada pengalaman baru, buktikan lagi, tegaskan lagi, dan perbaiki terus. Ini semua adalah prosesi dari proses untuk kematangan mental.
0 komentar:
Posting Komentar