Aneh. Mereka menangis. Menangisi kepergian orang-orang yang sebelumnya datang sebagai musuh dan mengalahkan negerinya. Bulir-bulir air mata jatuh menyentuh tanah kelahiran yang kini mulai berubah. Tidak semuanya menangis, memang. Namun rona kesedihan menjadi wajah negeri Hims pada hari itu.
Sebelumnya, Hims berada di bawah kekuasaan Romawi. Penduduknya mayoritas beragama Nasrani dan Yahudi. Sampai Islam mengalahkan militer negeri itu, justru ketika mereka mengejar kaum muslimin. Militer itu mungkin terlalu berambisi untuk mengalahkan kaum muslimin. Mereka tidak sadar akan kecerdasan Khalid bin Walid yang telah merancang strategi jitu, sebagaimana mereka tidak juga sadar akan keberanian kaum muslimin menyongsong kematian.
Setelah militer Hims kalah, kaum muslimin memasuki negeri itu untuk menggantikan tirani Romawi. Kesepakatan yang disepakati kedua belah pihak, setiap penduduk Hims membayar jizyah 1 dinar dengan jaminan keselamatan dan keamanan mereka.
Waktu bergulir begitu cepat bersama berubahnya hati manusia. Hims merasakan cinta kaum muslimin kepada mereka. Mereka menikmati kebaikan, keadilan, perlindungan, dan kedamaian dari tentara Muslim di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid. Maka, tahun 13 H atau 636 M itu menjadi saksi tetesan air mata saat tentara muslim berpamitan kepada mereka menuju Yarmuk. “Kami telah melupakan kemenangan kalian dan mempertahankan kalian,” kata Abu Ubaidah dalam sambutan perpisahannya, “karena itu kini kalian bebas menjalani urusan kalian masing-masing.” Kata-kata pengundang air mata itu mengiringi sikap yang tidak pernah dilupakan Hims. Kaum muslimin mengembalikan semua jizyah penduduk Hims.
Mata yang berkaca-kaca kini berlinang air mata. Tetesannya menjadi saksi keharuman cinta kaum muslimin. Agha Ibrahim Akram mencatat perkataan sebagian Yahudi Hims dalam buku Khalid bin Walid, The Sword of Allah : “Sungguh, pemerintahan dan keadilan kalian lebih kami senangi dari kezaliman yang dahulu kami rasakan.” Mereka juga berjanji takkan mengundang Romawi ke negeri itu. Namun yang lebih menggembirakan, kebaikan kaum muslimin itu membuat penduduk Hims berbondong-bondong memeluk Islam di belakang hari. Hidayah Allah turun membersamai cinta kaum muslimin yang dihadiahkan pada mereka.
Jihad Perang di dalam Islam memang bukan untuk motif ekonomi. Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan panjang lebar dalam Fiqih Jihad bahwa perang seperti itu dilarang dalam Islam. Demikian pula jihad perang bukan dimaksudkan untuk memaksa manusia masuk Islam. Bukan pula untuk melenyapkan seluruh kekufuran di penjuru dunia. Barangkali sebagian kita terkejur dengan larangan terakhir ini. Namun Dr. Yusuf Qardhawi telah mengambil kesimpulan ini dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.
Tujuan jihad perang yang dibenarkan dalam Islam adalah untuk melawan agresi musuh, mencegah terjadinya fitnah atau menjaga stabilisasi kebebasan dakwah, menyelamatkan orang-orang yang tertindas, dan memberi pelajaran kepada orang-orang yang mengingkari perjanjian. Selebihnya, ketika jihad perang selesai, biarlah orang-orang kafir berinteraksi dengan Islam, menerima dakwahnya, memahami hakikatnya, merasakan kebaikannya, dan membandingkannya dengan keyakinan lama mereka. Allah yang kuasa untuk menganugerahkan hidayah-Nya. Dan hidayah itu turun, biasanya membersamai cinta.
Jihad dalam bentuknya yang lain juga demikian. Jihad siyasi, misalnya. Ia tidak bertujuan meraih kekuasaan, seperti banyak dituduhkan oleh orang-orang yang belum memahami Islam dan dakwahnya. Kekuasaan hanyalah sasaran antara. Hanya anak tangga. Agar Islam bisa mengatur negeri dengan keadilannya. Agar Islam menampakkan keseluruhan wajahnya; yang indah dan mempesona. Agar kaum muslimin bisa menghadirkan cinta, tanpa dihalangi oleh tirani penguasa. Lalu biarlah… dengan cinta yang telah diterimanya umat memilih. Berbondong-bondong menyempurnakan agamanya. Sebab hidayah itu kuasa Allah Azza wa Jalla.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,
dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (QS. An-Nashr: 1-3)
dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (QS. An-Nashr: 1-3)
Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin] http://kpii.org/wordpress/2010/12/09/kisah-yahudi-yang-menangis-saat-perpisahan-dengan-tentara-muslimin/
0 komentar:
Posting Komentar